News  

Cintaku Datang Terlambat Bab 3

bloggerbanyumas

CINTAKU DATANG TERLAMBAT

bloggerbanyumas
Penulis : Goresan Pena93

“Saya hanya karyawan biasa di toko ini, Mbak. Tadi Pak Faris ingin membeli kue.” Aina tersenyum lemah. Dia juga mengulurkan tangannya pada Mia.
Aku tahu, dia hanya pura-pura menyembunyikan perasaannya yang mungkin saja sedang porak-poranda. Tapi, mengapa Aina tidak mengaku saja? Dia bisa bilang kalau dia adalah istriku. Dan harusnya, dia marah saat Mia datang dan langsung memeluk lenganku. Buktinya tatapan Aina terus mengarah pada tangan Mia.
“Oh, kalau begitu aku akan masuk ke dalam bersama calon suamiku.” Mia tersenyum lagi. Dia semakin mengeratkan genggaman tangannya dan menarikku ke dalam toko itu setelah bersalaman dengan Aina.
Melewati Aina yang tengah menahan air mata itu, rasanya aneh. Kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia tidak marah dan memberontak saat suaminya–pria yang telah menemaninya selama setahun, yang mendapatkan pelayanan penuh darinya, yang menginginkan dirinya kapan saja ini bersama wanita lain. Kenapa Aina?
Apakah dia tidak memiliki perasaan sedikitpun padaku saat ini? Ke mana hilangnya senyuman manja Aina yang kutemui selama ini? Ke mana dia membuang rasa cintanya itu? Atau dia sudah punya pria lain?
Mia menawariku berbagai macam kue di jejeran etalase dalam toko tersebut. Rasanya aku sama sekali tak berselera. Sepanjang langkah, pikiranku tertuju pada Aina. Mataku terus tertuju pada bagian dalam sana. Aina masuk ke dalam dan entah ke mana. Aku ingin bertanya soal Aina pada perempuan yang berjaga di bagian kasir, tapi Mia selalu menggandeng tangannku.
Setelah mendapatkan beberapa kue dari sana, kami pun segera kembali. Berkali-kali mataku melirik toko itu. Setelah mengantar Mia pulang nanti, aku akan kembali ke tempat ini dan menjemput Aina. Astaga, aku baru ingat kalau sekarang punya janji dengan Om Hamdan dan papa. Aku punya janji akan mempertemukan mereka dengan Aina.
Aku segera mengajak Mia pulang. Dan, mengantarnya sampai di depan rumah. Lagi-lagi dia menci-um pipiku dengan tiba-tiba. Jadi teringat dengan Aina. Dia selalu menghormatiku dan bersikap sopan.
“Mas!”
“Mas!”
“Mas, ya ampun kamu kenapa, sih? Melamun terus dari tadi!” protes Mia.
“Eh, em. Aku balik dulu ya, Mia. Aku tadi ada janji dengan papa dan om-ku.”
“Ya udah, tapi besok jemput aku ya, Mas! Aku mau ….”
“Udah dulu, ya! Bye ….”
Aku langsung memotong ucapannya lalu menekan pedal gas menuju ke tempat tadi lagi. Mondar-mandir sudah seperti orang kurang kerjaan saja. Sampai di sana, aku masuk dan langsung meminta kasir untuk memanggil Aina.
Benar saja, Aina keluar dengan tangan ada bekas tepung. Aku pun langsung menarik lengan itu meski banyak orang yang menatap kami dengan curiga. “Kita pulang sekarang!”
“Enggak bisa, Mas! Aku masih kerja. Mas aja yang pulang!” jawabnya.
“Aina, jangan bantah! Kamu tau sendiri kalau aku tidak suka dibantah!”
“Mas! Maunya Mas itu apa sih sebenarnya?” Mata Aina mulai berkaca-kaca. Aku melihat garis merah di dalamnya. “Mas sendiri yang bilang kalau mau kita pisah. Lantas kenapa minta aku supaya kembali lagi? Mas mau menyiksaku dengan kemesraan bersama wanita tadi?”
“Aina, tidak semudah itu kita pisah! Maksudku, kamu harusnya masih ada di rumah! Kalau kamu juga menginginkan kita pisah, aku akan kabulkan secepatnya. Asal kita pulang dulu, selesaikan semuanya di rumah. Selesaikan semuanya di hadapan papa dan Om Hamdan!”
Dia mulai sesenggukan. Dan aku, hanya bisa menatap setiap tarikan napasnya yang menyesakkan itu. Mau tak mau, aku memaksanya ikut denganku. Ponsel sejak tadi terus berdering, tapi kuabaikan. Setelah Aina izin pada pemilik toko, aku langsung mengajaknya masuk ke dalam mobil.

membawa Aina ke rumah

Mobil memasuki halaman rumah papa, aku memejamkan mata sejenak, menguatkan diri karena ingin menyampaikan keputusan yang sudah kuambil dan kupikirkan matang-matang sejak lama. Kami berjalan masuk ke dalam rumah, tampak papa dan Om Hamdan duduk di ruang tamu. Mereka sudah kuberitahu sebelumnya, kalau aku akan membawa Aina ke rumah ini.
“Pah, Om.” Aku kembali menyalami tangan mereka. Begitu juga dengan Aina.
Namun, Om Hamdan terlihat mengunci tatapan pada Aina. Ia seperti mencurigai sesuatu. Aina pun segera menyalami Om Hamdan. Setelah Aina dan aku duduk, Om Hamdan langsung angkat bicara.
“Dari mana saja kalian? Ini sudah jam dua siang.”
“Maaf, Om. Tadi ada urusan sebentar.” Aku beralasan.
“Oh, ya sudah. Tidak apa-apa,” balas Om Hamdan lagi. “Oh ya, Aina, Om ada urusan di luar kota sama papa mertua kamu. Kalau ada waktu, sesekali kamu dan Faris jenguk tantemu di Malang. Dia sangat merindukanmu, katanya.”
Aina tampak manggut-manggut. “Iya, Om. Insyaallah, secepatnya Aina akan ke sana.”
Dengan siapa dia bakal ke sana? Aku tidak akan membiarkannya sendirian sebelum perceraian itu terjadi. Awas saja kalau kabur-kaburan lagi.
Tiba-tiba saja dadaku berdegup kencang. Maju mundur ingin mengatakan bahwa aku hendak menceraikan Aina.
“Faris, kamu kenapa?” tanya papa sampai membuatku kaget.
“Eh, eng–enggak, Pah. Enggak ada. Enggak ada apa-apa.” Sesak sekali rasanya dadaku. Padahal tadi sudah benar-benar siap, tapi kenapa sekarang malah kaku begini?
“Papa juga sekalian mau jemput mama kamu di bandara, Ris. Dia pasti juga sangat rindu dengan menantu kesayangannya itu.” Papa tertawa.
Aku terdiam. Mama memang sejak dua bulan lalu berada di Palembang. Mengurus oma yang sudah tua dan tak mau meninggalkan tempat tinggalnya di sana. Jika mama pulang, itu artinya bakal panjang urusan.
Om Hamdan dan Papa kini siap untuk berangkat. Mereka berpamitan, lalu keduanya masuk ke dalam mobil dan melaju ke tengah jalanan.
Detik berikutnya, aku beralih pada Aina yang terpaku dengan mata sayup. Dia menatap kosong ke arah mobil tadi melaju. Kutarik tangannya hingga dia terkejut dan membawanya masuk ke dalam lagi.
“Mas Faris! Lepaskan! Sakit!” pekiknya seraya mencoba melepaskan tanganku.
“Dengar Aina ….” Aku menarik napas dalam-dalam. “Kamu bilang sudah siap berpisah denganku, bukan?”
Dia masih mengusap-usap tangannya yang kucekal tadi sembari mengatur napas. “Ya, aku sangat siap. Silakan jatuhkan talak!”
“Sebelum itu, aku ingin tanya satu hal sama kamu. Aku hanya ingin tau kenapa kamu dengan mudah menerima keputusanku? Jawab!” Aku tak sabar lagi ingin mendengar alasannya.
Aku melihatnya menelan ludah. Tatapannya selalu ke bawah. “Karena aku tidak mau hidup dengan pria yang tidak mencintai istrinya.”
“Kamu enggak kaget saat aku bersama dia tadi?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Karena aku sudah tau sejak pekan lalu. Kalian berpelukan.” Satu tetes air matanya terjatuh.
“Lantas kenapa kamu tidak marah?”
“Untuk apa marah? Aku sudah mati rasa.”
Pundakku luruh saat itu juga. Tidak menyangka bahwa Aina langsung pasrah menerima semuanya. Aku menunduk, mengatur napas dan degup jantung.
“Sekarang maumu apa? Aku akan kabulkan sebelum kita benar-benar berpisah.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *