Cintaku Datang Terlambat Bab 1

bloggerbanyumas

CINTAKU DATANG TERLAMBAT

bloggerbanyumas

Penulis : Goresan Pena93

“Aku ingin kita cer-ai.”
Satu kalimat yang akhirnya lolos juga dari mulutku. Pagi itu, Aina baru saja menyiapkan makanan di dapur. Seperti biasa, rutinitasnya selama 1 tahun di pagi hari. Aku selalu dipaksanya sarapan sebelum ke kantor.
“Aku sudah pikirkan ini masak-masak. Sudah jauh-jauh hari, bukan sehari dua hari. Aku akan berikan semua penghasilanku bulan ini padamu. Akan langsung ditran-sfer ke rekeni-ngmu,” kataku lagi.
Dia masih diam dan terus menyiapkan makanan. Suara air mendidih di atas kompor mulai hilang saat ia mematikan kompor lalu menuangkan air panas itu ke dalam cangkir. Aku sedikit kesal saat dia tidak menjawab. Entah sengaja tak acuh atau tidak dengar, aku tidak lagi peduli. Aku sudah bertekad untuk mengakhiri hubungan suami istri ini.
“Kopinya, Mas.” Dengan lembut, dia menyodorkan di depanku. Wajahnya masih seperti biasa, tidak murung atau langsung marah seperti istri-istri pada umumnya.
“Kamu dengar, kan, apa yang aku katakan?” tanyaku sekali lagi. Aku masih berdiri sambil memasukkan satu tangan ke dalam saku celana seraya menatap wajahnya.
“Iya, Mas. Aku dengar, kok.” Dia mulai menjawab. Itu artinya dia paham. Dia tidak mengabaikan.
“Jadi, kamu sudah siap?”
“Sudah, Mas.” Dia membalas sambil mengangguk.
Aku sedikit tersentak saat dia menjawab dengan santun. Sikapnya tidak berubah seperti sejak pertama menjadi istriku. Dia tetap sopan, lembut dan penurut. Meskipun aku sering buang muka saat diajaknya bicara.
“Maaf, Mas. Apa masih ada yang ingin disampaikan?” tanyanya tanpa menatapku.
“Enggak ada.” Aku meliriknya.
“Ya sudah kalau begitu, saya mau ke kamar dulu.”
Aina berjalan menuju kamar kami. Aku pastikan saat di sana nanti, dia pasti menangis sejadinya. Dia pasti akan mengadu pada keluarganya. Atau pada orang tuaku? Ah, aku tidak peduli.
Aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku tertekan menjadi suaminya. Setiap hari hidup terasa seperti diatur terus olehnya. Waktunya ini waktunya itu, dia selalu bertanya apa mauku. Jelas-jelas aku tidak ingin menatapnya.
Terlebih saat kedatangan Mia lagi ke Jakarta. Aku makin tidak bisa berhenti memikirkan wanita yang seharusnya menjadi istriku itu. Aku tidak mau dibilang seli-ngkuh, karena Mia adalah wanita yang aku inginkan sejak pertama. Hanya karena insiden kecil itu, aku harus menikah dengan Aina, keponakan sahabat papa yang sudah yatim piatu sejak usia 7 tahun.
Saat aku ingin kembali ke kamar untuk mengambil ponsel karena harus segera berangkat, tiba-tiba langkah terhenti di depan pintu karena melihat Aina sedang merapikan tempat tidur. Ada tas besarnya di atas ranjang kami.
Mau ke mana dia? Aku pun segera masuk, lalu berpura-pura tidak melihat apa yang sedang ia lakukan. Saat aku hendak pergi, tiba-tiba Aina mendekat. Mau apa lagi dia? Pasti ingin memohon. Meminta agar aku membatalkan percer-aian ini.
“Mau apa?” tanyaku.
“Maaf, Mas. Saya hanya ingin menc-ium punggung tangan Mas Faris saja. Untuk yang terakhir kali saja. Sebagai tanda pengabdianku telah usai,” balasnya dengan wajah menunduk.
Aku masih tidak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulutnya itu. Di saat lamunanku masih mengambang di udara, dia langsung meraih tanganku. Lalu menci-umnya. Ada rasa getaran yang menusuk dadaku, tapi aku seperti tersihir hingga tak bisa bicara.
Aku terpaku menatapnya melepaskan tangan ini, lalu dia merapikan pakaiannya ke dalam tas itu. Setelah resleting ia tarik, Aina mendekat lagi. “Mas, terima kasih sudah menjadikanku istri selama setahun ini. Maafkan aku yang banyak salah, tak bisa menjadi istri terbaik. Aku pamit kembali pada keluargaku. Assalamualaikum.”
Semakin berdesir dada ini rasanya mendengar ucapan Aina itu. Kenapa mataku mendadak berembun? Apa ini? Apa yang terjadi denganku? Aku tidak mungkin mencegahnya pergi. Tapi, ini kan rumahnya. Rumah hadiah pernikahan dariku.
Aku harus mencegahnya karena rumah ini adalah haknya. Jangan sampai aku dibilang mengusirnya dari sini oleh papa nanti. Gadis itu segera kukejar, tetapi saat aku sampai di gerbang depan, dia sudah tidak ada.
“Pak, Aina ke mana ya, tadi?” tanyaku pada satpam jaga.
“Oh, Mbak Aina sudah pergi naik angkot, Mas. Kebetulan tadi sebelum Pak Agung pulang, saya bertemu dengan Mbak Aina di depan komplek sana. Beliau sudah naik angkot warna merah,” terang Pak Rahmat.
Ada dua satpam yang jaga di rumah ini. Agar bisa sift malam dan siang. Aku mencoba masuk ke dalam rumah lagi lalu meraih ponsel yang masih berada di atas meja kamar. Kutekan kontak Aina, tapi malah suara getaran ponselnya ada di atas meja.
Aku berjalan mendekati meja rias yang tertata rapi itu. Benar saja, dia meninggalkan ponselnya di sini. Ada kartu AT-M yang pernah kuberikan padanya juga. Lantas, tanpa benda-benda ini, dia bawa apa?

Pikiranku kacau gara-gara Aina

Siang itu, saat dikantor aku tak bisa konsentrasi. Pikiranku kacau gara-gara Aina. Dia ke mana? Pulang ke kampungnya? Bawa apa? Memangnya dia punya ua-ng selain daripada ua-ng di A-TM?
Aku duduk di dalam ruangan dengan kaki menopang, memikirkan bagaimana caranya aku bisa tahu dia di mana. Bagaimana jika ahli keluarganya menghubungi papa nanti? Aku pasti langsung kena peringatan. Papa pasti langsung mengancam dengan posisiku di kantor ini.
Aina, kenapa kamu malah membuatku susah begini? Tak lama pintu ruangan terbuka, muncul Hans, asistenku. “Maaf, Pak, ditunggu Pak Firman di ruangannya.”
Aku menghela napas panjang, lalu berdiri dan bersiap ke ruangan papa. Apa pun yang akan terjadi nanti, aku harus siap mengatakan apa adanya. Ini sudah menjadi resiko karena aku sudah berani mengambil keputusan.
Aku berjalan dengan santai menuju ruangan papa sambil memikirkan jawaban apa yang akan katakan pada papa nanti. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, aku pun bergegas ke dalam. Di dalam sana ternyata ada Om Hamdan, selaku ahli keluarga Aina. Sejak kapan dia ada di sana? Bukannya dia ada di Malang?
“Duduk, Ris!” kata papa sambil menunjuk kursi di sebelah Om Hamdan.
Pria itu tersenyum padaku lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman lebih dulu. Sementara papa, ada tatapan sedikit aneh yang ditujukan padaku. Pasti aku lagi yang disalahkan karena tidak segera menyapa Om Hamdan.
“Gimana kabarnya, Faris?” tanya Om Hamdan.
“Baik, Om.” Aku memaksa bibir ini tersenyum.
“Jadi begini, Faris, Papa dan Om Hamdan mau ke luar kota karena urusan kerjaan. Tapi Om Hamdan mau ketemu Aina dulu, ada yang mau disampaikan katanya. Berhubung belum tau alamat tinggal kamu dan Aina yang sekarang, Om Hamdan langsung ke kantor Papa setelah dari bandara tadi,” terang Papa.
“Benar, Faris. Tadi Om telpon ke nomornya Aina juga enggak diangkat,” lanjut Om Hamdan. “Jadi, bisa kan, Om ketemu dia nanti siang?”
“Iya, Ris. Sekalian makan siang,” tambah papa.
Mam-pus! Harus ke mana aku mencari Aina?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *