Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali

Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali 1

Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali

Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali Dahulu kala ada sebuah desa yang subur tanahnya dan bagus ditanami padi. Tempat itu bernama Desa Jirah, yang masih termasuk didalam wilayah kerajaan Daha. Tepat di ujung desa ada sebuah rumah yang jauh dari penduduk lain. Pondok tua itu di kelilingi hutan jati sehingga membuatnya begitu gelap walaupun disiang hari. Tinggallah seorang janda dan

anak gadisnya. Mereka adalah Ki Rangda yang dijuluki oleh penduduk desa sebagai Calon Arang dan Ratna Manggali sang anak. Wajah sinis Ki Rangda membuat penduduk sekitar enggan untuk bertandang di pondoknya. 

Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali
Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali

“ Nak cepat kemari ! Dimana sesajen yang kemarin sore aku ramu ? “ “ Bukankah sesajen itu sudah ibu letakan di kamar suci ? Kalau ibu ingin membakar dupa, nanti aku ambilkan !” ” Kau memang anak baik. Tak sia-sia aku mempunyai anak sepertimu. Tapi sayang nasibmu belum mujur nak !” Sifat

ibu dan anak itu berbeda jauh, Ratna Manggali memiliki sifat ramah dan lemah lembut. Namun banyak laki-laki tak berani mendekatinya karena sang Ibu selalu curiga dan memasang sikap bermusuhan kepada setiap orang. Semenjak kematian suaminya yang meninggal karena terkena ilmu hitam, Ki Rangda mencari kesaktian dengan menyembah Dewi Durga, sang Dewi kesesatan

untuk membalas dendam. Meskipun dia tak tahu harus dilampiaskan kepada siapa, karena pembunuh suaminya tak pernah terlacak. Dendam kesumat ibunya membuat Ratna Manggali menanggung derita. Dia menjadi terasing. Saat perasaan ibunya sedang baik, dia mengajak anaknya bercakap-cakap tentang masa depan. Ratna Manggali tak tega jika ibunya bersedih memikirkan tentangnya. Dia menghibur ibunya dengan kata-kata manis. 

Seolah Ratna Manggali tidak menderita dengan keadaannya. Suatu ketika datang seorang pemuda dari desa sebelah barat, bernama I Made Widiasta. Dia penganut ilmu dari aliran yang sama dengan Ki Rangda dan ingin mengadu kesaktiannya. Pada suatu siang dia mencegat Ratna Manggali, ketika pulang dari sungai. “ Wahai gadis ayu !. Dimana rumah Ki Rangda. Aku ingin menyampaikan amanat

guruku !” ” Rumah itu ada di tengah hutan jati, kebetulan saya ingin pulang ke sana.” Dengan malu-malu Ratna Manggali berjalan di belakang Widiasta, tetapi pemuda itu beberapa kali mensejajarkan jalannya. Sesampainya di rumah, Ratna Manggali memanggil ibunya. “ Ibu…? Ada utusan Dewi Durga yang ingin menyampaikan sesuatu !” Buyarlah semedi Ki Rangda. Dengan kening berkerut Ki

Rangda keluar. Ketika melihat Widiasta, pemuda sealiran dengannya, timbul harapan di lubuk hati wanita tua itu. ” Inilah calon menantuku !” Widiasta berusaha bersikap selembut mungkin di hadapan Ki Rangda. ” Dewi Durga menyampaikan jimat ini untuk Nyai. “ Widiasta menyerahkan benda berbentuk segi panjang yang di bungkus kain putih. Ki Rangda langsung paham apa isi jimat itu. Dia

memandang pemuda di hadapannya dari ujung rambut sampai kaki berkali-kali. Setelah itu ijinkanlah Widiasta untuk tinggal di pondok itu untuk beberapa hari. Sejak saat itu Widiasta dan Ratna Manggali semakin akrab. 

“ Sungguh beruntung diriku bisa mendapatkan gadis secantik Ratna Manggali. ” ” Akhirnya impianku akan segera terwujud !“ Suatu hari berita Ratna Manggali yang akan menikah dengan Widiasta tersebar. Banyak pemuda yang tak suka dengan hal itu. Lantaran mereka tau sifat Widiasta yang terkenal sering menggoda wanita lain. ” Kurang ajar sekali! Gadis cantik seperti Ratna Manggali di dekati oleh pemuda kotor seperti itu. “ “ Harus diberi pelajaran orang itu. Ayo kita gagalkan

pernikahan mereka. “ Mereka ingin Ratna Manggali mendapat suami seorang pemuda baik-baik bukan dari aliran sesat. “ Ayo panggil teman-teman. Kita tunggu Widiasta di pasar !” Beberapa saat kemudian datanglah Widiasta berjalan terhuyung-huyung akibat meminum arak. Di tengah jalan dia berjumpa dengan seorang gadis. “ Hai gadis cantik ! Kenapa kau sendirian ? Ayo pulang bersamaku.

Baca juga  Legenda Jaka Tarub | Cerita Rakyat Jawa

“ Awalnya gadis tersebut tak begitu menghiraukannya. Akan tetapi sikap Widiasta semakin keterlaluan kepada gadis tersebut. Gadis itu berteriak meminta tolong. Mendengar teriakan itu, para pemuda yang sedang dilanda amarah bergerak serentak. Mereka langsung mengeroyok Widiasta hingga terkapar. Dengan sisa tenaganya, Widiasta melawan dan menantang untuk bertarung satu

lawan satu. Mendengar hal itu, salah satu pemuda maju bersiap melawannya. Widiasta kemudian memasang kuda-kuda ilmu setan. Tangannya mengeluarkan api, matanya merah membara, serta jari kaki dan tangannya keluar kuku yang sangat panjang. Dengan sekali sentak tubuh pemuda itu

hangus terbakar. Melihat temannya tak berdaya terkapar di tanah, gerombolan pemuda itupun marah. Mereka menyerang Widiasta bersama-sama. Meskipun berilmu tinggi, Widiasta tak berdaya jika harus melawan orang banyak. Akhirnya dia pun terkapar tewas. 

Anehnya setelah itu dia kembali seperti semula. Para pemuda membawa badan Widiasta untuk dibuang keluar desa agar tidak ada lagi manusia iblis di Desa Jirah. Beberapa hari kemudian berita perkelahian itu sampai ke telinga Ki Rangda. Dia menggeram ketika tahu Widiasta telah tewas dan dibuang dari Jirah. “ Calon Mantuku tewas ? Awas, tunggu pembalasanku ! Tak tahu diri, rasakan

ganasnya ilmuku ! rasakan dendam Calon Arang. “ Ki Rangda masuk kedalam kamar suci dan bersujud di bawah patung Dewi Durga. “ Sabar bu ! Ibu jangan mengeluarkan ilmu sihir itu, habislah kampung ini kalau ibu marah. Tahanlah bu !” Ki Rangda mulai membakar jimat. “Berhenti ibu…ibu!” Perlahan-lahan tubuh manusia Ki Rangda berubah menjadi Calon Arang. Melihat wujud ibunya seperti

raksasa, Ratna Manggali ketakutan dan berlutut tak berdaya. Calon Arang yang murka terbang menuju ke pemukiman warga dan menebar wabah mematikan. Asap hitam menyelimuti seluruh penjuru desa, hingga menyebar ke seluruh Daha. Sementara itu di kerajaan Daha. Seorang prajurit melaporkan jika Desa Jirah terkena wabah. “ Kemarin desa itu aman-aman saja ! Sawah-sawahnya

juga akan panen dan rakyat dalam keadaan damai. Tidak mungkin !” Prajurit itu menjelaskan bahwa wabah itu datang seperti halilintar, dengan cepat menyerang Desa jirah. Mendengar berita itu Raja Airlangga bersama dengan beberapa prajurit pergi menuju Jirah. 

Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali

Saat memasuki wilayah desa, sang prabu terkejut dengan tatapan kosong melihat keadaan desa yang mengenaskan. Tanaman padi merunduk kering dan mati, hamparan hijau yang sejuk berubah menjadi coklat nan gersang. Sumur-sumur kering, hewan ternak mati tanpa sebab. Serta penduduk terkena penyakit aneh bahkan banyak yang meninggal. Raja pun akhirnya mengumpulkan warga

untuk mencari tahu sumber malapetaka yang terjadi. Salah satu warga menjelaskan jika petaka itu datang dari kemarahan Ki Rangda si Calon Arang. Raja Airlangga pun memutuskan untuk memanggil Ki Rangda agar segera di adili. Ki Rangda dan Ratna Manggali akhirnya datang menghadap sang Prabu Airlangga. Ki Rangda sangat sombong, dia terus mendongakkan wajahnya. Sebaliknya Ratna

Manggali, dia merasa malu dan terus menundukan kepalanya. “ Ki Rangda, mengapa kau berbuat keji. Membuat rakyatku menderita. Ilmu hitam dapat saja kau miliki, tetapi jangan sampai kau gunakan untuk membunuh rakyatku.” “ Perbuatan mereka juga kejam terhadap hamba dan anak hamba Ratna Manggali. Calon suaminya telah dihabisi dengan keji oleh para pemuda desa. “ “ Apa benar apa yang dikatakan ibumu, Ratna Manggali ?” “ Ampun baginda. 

Legenda Calon Arang | Cerita Rakyat Bali

Cerita itu benar. Tetapi para pemuda tidaklah salah. Karena Widiasta memang seorang pemabuk dan sering menggoda gadis-gadis desa. Hamba sering mengikutinya ketika dia pergi keluar rumah.” Ki Rangda kecewa mendengar hal itu. Dia tak menyangka jika Widiasta adalah orang yang berperangai buruk. Dengan penuh emosi, di pandangnya salah satu prajurit. Tiba-tiba seluruh tubuh prajurit itu

Baca juga  Asal Usul Banyuwangi Cerita Rakyat Jawa Timur 

memerah dan berguling di tanah hingga tewas. Dengan kasar Ki Rangda menyeret Ratna Manggali untuk diajak pulang sambil mengucapkan sumpah serapah meninggalakan tempat itu. Raja Airlangga akhirnya memutuskan Ki Rangda harus di hukum dengan cara menghabisinya pada saat tidur. Hal itu dikarena hanya saat tidur, ilmu sihir Ki Rangda tidak aktif. Raja mengutus dua orang terlatih untuk

melaksanakan tugas itu. Rupanya Ki Rangda sudah tau bahwa dirinya sedang terancam bahaya. Dia pun tidak tidur dan bersemedi di kamar suci. Ketika dua orang utusan raja tersebut akan membuka pintu kamar suci. Muncul Ki Rangda dengan wujud Calon Arang. Mereka berdua terkejut dan mundur beberapa langkah. Dengan satu gerakan yang sangat cepat, Calon Arang dapat menjatuhkan kedua orang itu dan melempar mereka keluar. 

“ Aku tak terkalahkan. Katakan pada rajamu, dia sendiri yang harus mengalahkanku.” Gema suara Calon Arang terdengar memecah malam, hingga sampai ke penjuru negeri. Calon Arang mengerahkan murid-muridnya untuk menebar teror kepada seluruh penduduk Daha. “ Aku akan terus mengganggu ketentraman hidup kalian, Karena sudah menyiksaku sepanjang hidupku. Bahkan

sebagian prajurit kerajaan terkena sihir murid Calon Arang. Rasakan pembalasanku.” Esok paginya Raja Airlangga mendenga jika utusanya telah tewas dan teror mulai memasuki istana. Kemudian Raja memerintahkan prajurit untuk meminta bantuan kepada Mpu Bharada. Sesampainya di padepokan Mpu Bharada, prajurit utusan itu menyampaikan pesan raja. Dan bercerita tentang keadaan Daha

saat ini. Setelah mendengar perintah itu, Mpu Bharada memikirkan cara untuk menghentikan Rangda, mantan muridnya yang sesat itu. “ Bahula, pergilah ke desa Jirah. Hentikan amukan Ki Rangda. “ “ Apakah saya mampu tuan guru ? “ “ Dekati anak Ki Rangda. Dia sangat menyayangi anak gadisnya itu, menikahlah dengannya. Selama ini para pemuda takut mendekati Ratna Mangali. “ “ Apa dengan cara ini wabah bisa dihentikan ?” “ Aku sangat yakin. Jika kau bisa menjadi menantu Ki Rangda maka hatinya akan melunak. Sehingga dia mau mencabut mantra-mantra kutukan itu. “ “ Baik guru, aku akan melaksanakannya.” 

Mpu Bharada mengantarkan kepergian murid kesayangannya sampai batas desa. Setelah perjalanan panjang, ketika melewati sungai tak sengaja Bahula bertemu dengan Ratna Manggali. “ Permisi, apakah adik dapat menunjukan jalan menuju Jirah ?. “ “ Siapa kau ? Kau bukan penduduk sini !” Ratna Manggali takut hal yang sama terulang kembali, saat dulu pertemuannya dengan Widiasta. “ Aku Bahula, murid Pendeta Agung Mpu Bharada. “ Mendengar nama Mpu Bharada disebut oleh

pemuda itu, Ratna Manggali terkejut. ” Saya Ratna Manggali, tempat ini bernama Jirah. Saya tinggal disini tuan. “ Diantarkannya Bahula menuju tempat yang dimaksud. Hari pun sudah sore ketika mereka tiba di depan rumah Ki Rangda. Tiba-tiba dari dalam rumah muncul seorang wanita tua. “ Apa maumu anak muda ? “ “ Saya Bahula, murid Mpu Bharada. “ Wanita itu tercengang mendengar

pemuda dihadapannya berkata sangat lembut dengan bahasa yang santun. “ Akhirnya Mpu Bharada mengirim juga anak buahnya, selamat datang di gubuk ini anakku.” Bahula pun menyampaikan tujuannya datang ke Jirah. Mendengar anaknya di lamar oleh murid gurunya dahulu, Ki Rangda sangat senang. Akhirnya datang juga jodoh anakku. 

Betapa leganya dadaku ini. Kau memang seorang ksatria karena berani melamar anakku. “ Bahula membayangkan seperti apa rupa anak Ki Rangda, jika ibunya saja seperti itu. “ Ratna Manggali, kemarilah temui calon suamimu. “ Keluarlah Ratna Manggali dari belakang. Ini menandakan jika gadis cantik itu adalah calon istri Bahula. Bahagia hati Bahula ternyata gadis yang dia temui

sebelumnya akan dinikahi. Selang beberapa hari pesta pernikahan Bahula dan Ratna manggali digelar. Ki Rangda senang hingga melupakan dendamnya kepada penduduk Daha. Mpu Bharada akhirnya mendengar kabar pernikahan Bahula. Diapun bermaksud datang ke Jirah guna menengok

Baca juga  Cerita Rakyat Batu Menagis

muridnya. Selama diperjalanan menuju Jirah, Mpu Bharada melihat pemandangan yang sangat miris, pemandangan di Desa Jirah sangat jauh berbeda dari tempat tinggalnya. Sepanjang perjalanan pendeta itu masih melihat sisa sisa keganasan Ki Rangda. Sampailah Mpu Bharada di rumah Ki Rangda. Semua orang sudah menanti didepan rumah menyambut kedatangannya. Kedatangan Mpu

Baradah di tengah keluarga itu membawa hikmah bagi Ratna Manggali, karena Ki Rangda secara diam-diam mengikuti petuah yang disampaikan Mpu Bahrada. Dia sudah jarang ke kamar sucinya untuk menegucapkan mantra-mantra jahatnya. Ratna Manggali sebenarnya juga sering membujuk ibunya agar kembali ke jalan yang benar. “ Untuk apa ibu masih melakukan hal seperti itu, bukankah ibu sekarang sudah bahagia, melihat aku sudah berumah tangga.” 

Ki Rangda hanya diam mendengar ucapan anaknya, dia tetap berjalan menuju kamar suci. Wanita itu masih menyembah patung Dewi Durga namun tidak menyalakan api. Pada suatu malam saat Ki Rangda tertidur lelap, dia bermimpi didatangi sosok Calon Arang. Makhluk itu marah kepada Ki Rangda karena dia sudah melupakan ajarannya. Keesokan harinya Ki Rangda sakit, dia merasakan ajalnya semakin dekat. “ Mpu, aku ingin menghilangkan dosaku !” “ Apakah kau ingin bertobat ?” “

Aku ingin disucikan. Berkahilah aku. Selama ini aku hidup diperbudak dendamku sendiri. Aku menyesal !” “ Berbahagialah anakku, ibumu telah mengakui semua dosa dan ingin menebusnya.” ” Aku sangat bahagia, akhirnya ibu mau kembali ke jalan benar. “ Disebuah tanah lapang, Mpu Bharada dan Ki Rangda melakukan ritual penyucian. Mpu Barada duduk bersila sambil membaca mantra.

Beberapa saat kemudian, tubuh Ki Rangda terguncang. Semakin lama guncangan itu semakin keras. Tubuh yang tadinya sudah lemah, secepat kilat melompat ke atas dan berubah menjadi Calon Arang. Calon Arang marah jika tubuh yang dihuninya itu disucikan. Mpu Bharada semakin giat membaca mantra. Calon arang membakar tubuh Mpu Bharada, namun tidak mempan. Calon Arang semakin

marah. Dia melompat menjauh dan menyerang Mpu barada bertubi tubi dengan api dan petir. Serangan itu begitu gencar. Serangan Calon Arang tak membuat Mpu Bharada terluka sedikitpun. 

Tiba-tiba tubuh Mpu Baradah terbang mendekati Calon Arang. Melihat musuhnya maju Calon Arang semakin ganas menyerang. Akan tetapi semua serangan itu ditelan oleh sinar yang keluar dari tubuh sang Mpu. Tubuh Calon Arang terpental jauh. Dia kini semakin bertambah sangar dan menyerang

kembali. Karena Calon Arang semakin ganas, sang Mpu tak tinggal diam. Dengan ajian saktinya, dia kembali membaca mantra. Sorot mata Mpu Barada mengeluarkan api. Api bertemu api mengadu

kekuatan. Raksasa itupun tak mampu menahan kekuatan sang mpu. Calon Arang pun akhirnya kalah dan hangus terbakar menjadi abu. Abu yang menumpuk itu diambil Mpu Barada. Diletakannya di sebuah kain putih. Kemudian dihidupkan kembali Ki Rangda. Tubuh pun Ki Rangda kembali, namun masih dalam keadaan pucat, sama seperti sebelumnya. Ki Rangda meminta kepada Sang Mpu untuk segera mengakhiri hidupnya. 

Mendengar permintaan besannya itu, tubuh Mpu Bharada mengeluarkan cahaya. Cahaya itu terus melebar dan meraih tubuh Ki Rangda yang sudah tidak berdaya. Proses penyucian pun telah selesai. Saat itu pula, tubuh Ki Rangda melemas dan jatuh ke tanah. Ki Rangda pun meninggal dengan tenang. Hilang sudah kutukan Calon Arang. Hujan turun membasahi tanah Daha. Wabah penyakit

lenyap dan tanah kembali subur seperti sedia kala. Sepeninggal sang ibu, Ratna Manggali bersedih. Meskipun Ratna Manggali sadar bahwa ibunya berdosa besar, tetapi dia tidak tega jika ibunya harus meninggal. Bahula dan Mpu Bharada turut menghiburnya dengan memberitahukan bahwa sang ibu tewas dalam keadaan suci. Mendengar nasihat keduanya, Ratna Manggali menerima kenyataan dan melanjutkan hidup dengan bahagia bersama Bahula.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *